Secara
Harfiah Transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke
tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia
atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
Di
negara maju, mereka biasanya menggunakan kereta bawah tanah (subway) dan taksi.
Penduduk di sana jarang yang mempunyai kendaraan pribadi karena mereka sebagian
besar menggunakan angkutan umum sebagai transportasi mereka. Transportasi
sendiri dibagi 3 yaitu :Transportasi darat, laut, dan udara.Transportasi udara
merupakan transportasi yang membutuhkan banyak uang untuk memakainya. Selain
karena memiliki teknologi yang lebih canggih, transportasi udara merupakan alat
transportasi tercepat dibandingkan dengan alat transportasi lainnya.
Pengertian
Transportasi Menurut Para Ahli.
Menurut
Salim (2000) transportasi adalah kegiatan pemindahan barang (muatan) dan
penumpang dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam transportasi ada dua unsur
yang terpenting yaitu pemindahan/pergerakan (movement) dan secara fisik
mengubah tempat dari barang (comoditi) dan penumpang ke tempat lain.
Menurut
Hasim Purba di dalam bukunya ”Hukum Pengangkutan Di Laut”, pengangkutan adalah
”kegiatan pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain
baik melalui angkutan darat, angkutan perairan maupun angkutan udara dengan
menggunakan alat angkutan. Jadi pengangkutan itu berupa suatu wujud kegiatan
dengan maksud memindahkan barang-barang atau penumpang (orang) dari tempat asal
ke suatu tempat tujuan tertentu”.
Menurut
Soegijatna Tjakranegara, pengangkutan adalah memindahkan barang ataucommodity
of goods dan penumpang dari suatu tempat ketempat lain, sehingga pengangkut
menghasilkan jasa angkutan atau produksi jasa bagi masyarakat yang membutuhkan
untuk pemindahan atau pengiriman barangbarangnya.
Secara
yuridis defenisi atau pengertian pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Walaupun demikian,
pengangkutan itu menurut hukum atau secara yuridis dapat didefenisikan sebagai
suatu perjanjian timbal balik antara pihak pengangkut dengan pihak yang
diangkut atau pemilik barang atau pengirim, dengan memungut biaya pengangkutan.
Menurut
Miro (2005) transportasi dapat diartikan usaha memindahkan, mengerakkan,
mengangkut, atau mengalihkan suatu objek dari suatu tempat ke tempat lain, di
mana di tempat lain ini objek tersebut lebih bermanfaat atau dapat berguna
untuk tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan menurut Nasution (2008) adalah sebagai
pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.
Menurut
Ridwan Khairindy, pengangkutan merupakan pemindahan barang dan manusia dari
tempat asal ke tempat tujuan. Ada beberapa unsur pengangkutan, yaitu sebagai
berikut:
1.
adanya sesuatu yang diangkut;
2.
tersedianya kendaraan sebagai alat angkut
3.
ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.
Menurut
H.M.N Purwosutjipto menyatakan bahwa “Pengangkutan adalah perjanjian timbal
balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke
tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri
untuk membayar uang angkutan”.
Pada
dasarnya permintaan angkutan diakibatkan oleh hal- hal berikut (Nasution, 2004
dalam Herry 2006);
1.Kebutuhan
manusia untuk berpergian dari lokasi lain dengan tujuan mengambil bagian di
dalam suatu kegiatan, misalnya bekerja, berbelanja, kesekolah, dan lain- lain.
2.Kebutuhan
angkutan barang untuk dapat digunakan atau dikonsumsi di lokasi lain.
Pengangkutan
sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)
Berdasarkan suatu perjanjian;
2)
Kegiatan ekonomi di bidang jasa;
3)
Berbentuk perusahaan;
4)
Menggunakan alat angkut mekanik.
Sedangkan
fungsi trasportasi menurut Morlok (1984) adalah untuk menggerakan atau
memindahkan orang dan / atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan
menggunakan system tertentu untuk tujuan tertentu.
Transportasi
manusia atau barang biasanya bukanlah merupakan tujuan akhir, oleh karena itu
permintaan akan jasa transportasi dapat disebut sebagai permintaan turunan
(derived demand) yang timbul akibat adanya permintaan akan komoditi atau jasa
lainnya. Dengan demikian permintaan akan transportasi baru akan ada apabila
terdapat factor- factor pendorongnya. Permintaan jasa transportasi tidak
berdiri sendiri, melainkan tersembunyi dibalik kepentingan yang lain. (Molok,
1984).
Kesimpulan
Definisi hukum
transportasi:
Hukum Transportasi adalah sekumpulan norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemilik jasa angkutan dan pengguna jasa angkutan.
Obyek Hukum Transportasi ada 2:
1. Orang
2. Barang
Sumber Hukum Transportasi:
1. KUHD & BW
2. UU. No. 22 Tahun 2009 tntg Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
PASAL-PASAL DALAM KUHD MENGENAI
PENGANGKUTAN DAN TRANSPORTASI
PASAL-PASAL DALAM KUHD MENGENAI PENGANGKUTAN
DAN TRANSPORTASI
Pasal 86
Ekspeditur adalah seseorang yang pekerjaannya
menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lain di
darat atau di perairan. Ia diwajibkan membuat catatan-catatan dalam register
harian secara berturut-turut tentang sifat dan jumlah barang-barang atau
barang-barang dagangan yang harus diangkut, dan bila diminta, juga tentang
nilainya. (KUHPerd. 1139-71, 1147, 1792 dst.; KUHD 6 dst., 76, 90, 95.)
Pasal 87
Ia harus menjamin pengiriman dengan rapi dan
secepatnya atas barang-barang dagangan
dan barang-barang yang telah diterimanya untuk itu,dengan mengindahkan segala
sarana yang dapat diambilnya untuk menjamin pengiriman yang baik. (KUHPerd.
1244, 1367,1800 dst.; KUHD 88.)
Pasal 88
Ia juga harus menanggung kerusakan atau
kehilangan barang-barang dagangan dan barang-barang sesudah pengirimannya yang
disebabkan oleh kesalahan atau keteledorannya. (KUHD 91 dst.)
Pasal 90
Surat muatan merupakan perjanjian antara
pengirim atau ekspeditur dan pengangkut atau juragan kapal, dan meliputi selain
apa yang mungkin menjadi persetujuan antara pihak-pihak bersangkutan, seperti
misalnya jangka waktu penyelenggaraan pengangkutannya dan penggantian kerugian
dalam hal kelambatan, juga meliputi:
1. nama dan berat atau ukuran barang-barang
yang harus diangkut beserta merek-mereknya
dan bilangannya;
2. nama yang dikirimi barang-barang itu;
3. nama dan tempat tinggal pengangkut atau
juragan kapal;
4. jumlah upah pengangkutan;
5. tanggal penandatanganan;
6. penandatanganan pengirim atau ekspeditur.
Surat muatan harus dicatat dalam daftar harian oleh ekspeditur. (KUHD 86, 454
dst., 506.)
Bagian 3
Pengangkut Dan Juragan Kapal Melalui
Sungai-sungai Dan Perairan Pedalaman
Pasal 91
Para pengangkut dan juragan kapal harus
bertanggung jawab atas semua kerusakan yang terjadi pada barang-barang dagangan
atau barang-barang yang telah diterima untuk diangkut, kecuali hal itu
disebabkan oleh cacat barang itu sendiri, atau oleh keadaan di luar kekuasaan
mereka atau oleh kesalahan atau kelalaian pengirim atau ekspeditur sendiri.
(KUHPerd. 1139-71, 1147, 1246, 1367, 1617; KUHD 87 dst., 93, 95, 98, 342 dst.,
533, 693.)
Pasal 92
Pengangkut atau juragan kapal tidak bertanggung
jawab atas kelambatan pengangkutan, bila hal itu disebabkan oleh keadaan yang
memaksa. (KUHPerd.1245; KUHD 87.)
Pasal 93
Setelah pembayaran upah pengangkutan
barang-barang dagangan dan barang-barang yang telah diangkut atas dasar pesanan
diterima, maka gugurlah segala hak untuk menuntut kerugian
kepada pengangkut atau juragan kapal dalam hal kerusakan atau kekurangan, bila
cacatnya waktu itu dapat dilihat dari luar. Jika kerusakan atau kekurangannya
tidak dapat dilihat dari luar, dapat dilakukan pemeriksaan oleh pengadilan
setelah barang-barang itu diterima, tanpa membedakan sudah atau belum dibayar
upah pengangkutan, asalkan pemeriksaan itu diminta dalam waktu dua kali dua
puluh empat jam setelah penerimaan, dan ternyata barang-barang itu masih dalam
wujud yang semula. (KUHD 485 dst., 746,753.)
Pasal 95
Semua hak-menuntut terhadap ekspeditur,
pengangkut atau juragan kapal berdasarkan kehilangan barang-barang seluruhnya,
kelambatan penyerahan, dan kerusakan pada barang-barang dagangan atau
barang-barang, kedaluwarsanya pengiriman yang dilakukan dalam wilayah
Indonesia, selama satu tahun dan selama dua tahun dalam hal pengiriman dari
Indonesia ke tempat-tempat lain, bila dalam hal hilangnya barang-barang,
terhitung dari hari waktu seharusnya pengangkutan barang-barang dagangan dan
barang-barangnya selesai, dan dalam hal kerusakan dan kelambatan penyampaian,
terhitung dari hari waktu barang-barang itu seharusnya akan sampai di tempat
tujuan. Kedaluwarsa ini tidak berlaku dalam hal adanya penipuan atau
ketidakjujuran. (KUHPerd. 1967; KUHD 86 dst., 91, 93.)
Pasal 394
Penumpang tidak boleh mengangkut barang di
kapal atas beban sendiri, kecuali berdasarkan perjanjian dengan pengusaha kapal
atau izinnya, dan bila kapal itu dicarter, juga dari pencarter. Bila dilakukan
perbuatan yang bertentangan dengan ini, maka untuk barang itu harus dibayar
biaya angkutan tertinggi yang dipersyaratkan atau dapat dipersyaratkan untuk
barang-barang semacam itu dengan ketentuan tujuan yang sama pada waktu
pemuatan, dan harus dibayar ganti rugi yang terjadi di samping itu. Bila barang
tersebut berbahaya untuk barang lain atau untuk kapalnya ataupun dianggap
sebagai barang larangan, maka nakhoda berwenang menurunkan ke darat atau bila
perlu melemparkannya ke laut. (KUHPerd. 1246, 1365; KUHD 320, 341, 357, 400,
413 dst., 453, 466, 479, 491 dst., 518a dan i, 533.)
Pasal 453
Yang diartikan dengan mencarterkan
(vervrachten) dan mencarter (bevrachten) ialah pencarteran menurut waktu
(carter waktu) dan pencarteran menurut perjalanan (carter perjalanan).
Percarteran menurut waktu ialah perjanjian di mana pihak yang satu (yang
mencarterkan) mengikatkan diri untuk menyediakan penggunaan sebuah kapal yang
ditunjuk bagi pihak lainnya (pencarter), agar digunakan untuk keperluannya guna
pelayaran di laut, dengan membayar suatu harga yang dihitung menurut lamanya
waktu. (KUHD 460 dst., 517z, 518 dst., 518f, 533n dst.) Pencarteran menurut
perjalanan adalah perjanjian dimana pihak yang satu (yang mencarterkan)
mengikatkan diri untuk menyediakan penggunaan sebuah kapal yang ditunjuk untuk
seluruhnya atau untuk sebagian bagi pihak lainnya (pencarter), agar baginya
dapat diangkut orang atau barang melalui laut dengan satu perjalanan atau lebih
dengan membayar harga tertentu untuk pengangkutan ini. (KUHD 618h dst., 521,
533q dst.; S. 1933-47.)
BAB VA
PENGANGKUTAN BARANG-BARANG
Ketentuan-ketentuan Umum
Pasal 466
Pengangkut dalam pengertian bab ini ialah orang
yang mengikat diri, baik dengan carter menurut waktu atau carter menurut
perjalanan, maupun dengan suatu perjanjian lain, untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang seluruhnya atau sebagian melalui laut. (KUHD 86, 453, 520g,
521, 533.)
Pasal 467
Pengangkut dalam batas-batas yang layak, bebas
dalam memilih alat pengangkutannya, kecuali bila diperjanjikan suatu alat
pengangkutan tertentu. (KUHPerd. 1374; KUHD 5179.)
Pasal 468
Perjanjian pengangkutan menjanjikan pengangkut
untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan
sampai saat penyerahannya. Pengangkut harus mengganti kerugian karena tidak
menyerahkan seluruh atau sebagian barangnya atau karena ada kerusakan, kecuali
bila Ia membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang itu seluruhnya atau
sebagian atau kerusakannya itu adalah akibat suatu kejadian yang selayaknya
tidak dapat dicegah atau dihindarinya, akibat sifatnya, keadaannya atau suatu
cacat barangnya sendiri atau akibat kesalahan pengirim. Ia bertanggung jawab
atas tindakan orang yang dipekerjakannya, dan terhadap benda yang digunakannya
dalam pengangkutan itu. (KUHPerd. 1239, 1243 dst., 1367, 1613, 1706; KUHD 86
dst., 89, 91, 249, 342, 359, 371, 452, 469 dst., 472 dst., 475,477, 479, 483,
487, 517c, p, x, 518n, 519u, 522 dst., 533, 707, 741-1 nomor 31, 746.)
Pasal 469
Terhadap pencurian dan hilangnya emas, perak,
batu mulia dan barang berharga lainnya, uang dan surat-surat berharga, dan juga
terhadap kerusakan barang-barang berharga yang mudah menjadi rusak, pengangkut
hanya bertanggung jawab bila kepadanya diberitahukan tentang sifat dan nilai
barang itu sebelum atau pada waktu ia menerimanya. (KUHD 96, 468, 470, 517c.)
Pasal 470
Pengangkut tidak bebas untuk mempersyaratkan,
bahwaia tidak bertanggung jawab atau bertanggung jawab tidak lebih daripada
sampai jumlah yang terbatas untuk kerugian yang disebabkan karena kurang
cakupnya usaha untuk pemeliharaan, perlengkapan atau pemberian awak untuk alat
pengangkutnya, atau untukkecocokannya bagi pengangkutan yang diperjanjikan,
maupun karena perlakuan yang keliru atau penjagaan yang kurang cukup terhadap
barang itu. Persyaratan yang bermaksud demikian adalah batal. Namun pengangkut
berwenang untuk mempersyaratkan, bahwa ia tidak akan bertanggung jawab untuk tidak
lebih dari suatu jumlah tertentu atas tiap-tiap barang yang diangkut, kecuali
bila kepadanya diberitahukan tentang sifat dan nilai barangnya sebelum atau
pada waktu penerimaan. Jumlah ini tidak boleh ditetapkanlebih rendah dari f.
600,-. Pengangkut di samping itu dapat mempersyaratkan, bahwa ia tidak wajib
mengganti kerugian, bila kepadanya diberitahukan sifat dan nilai barangnya
dengan sengaja secara keliru. (AB. 23; KUHD 359 dst., 362, 469, 470a, 471, 476,
493, 517b, c, 524, 527; S. 1927.-261 pasal 35; S. 1927-262 pasal 27.)
Pasal 470a
Persyaratan untuk membatasi tanggung jawab
pengangkut dalam hal apa pun tidak membebaskannya untuk membuktikan, bahwa
untuk pemeliharaan, perlengkapan atau pemberian awak untuk alat pengangkutan
yang diperjanjikan telah cukup diusahakan, bila ternyata, bahwa kerugian itu
adalah akibat dari cacat alat pengangkutannya atau tatanannya. Dari hal ini
tidak dapat diadakan penyimpangan dengan perjanjian. (AB. 23; KUHD 359 dst.,
459, 471, 517c, 524a.)
Pasal 472
Ganti rugi yang harus dibayar oleh pengangkut
karena tidak menyerahkan seluruhnya atau sebagian dari barang-barang, dihitung
menurut nilai barang yang macam dan sifatnya sama di tempat tujuan, pada waktu
barang itu seharusnya diserahkan, dikurangi dengan apa yang dihemat untuk bea,
biaya dan biaya angkutan karena tidak adanya penyerahan. Bila muatan selebihnya
dengan ketentuan tujuan yang sama, sebagai akibat suatu sebab untuk hal mana
pengangkut tidak bertanggung jawab, tidak mencapai tujuannya, maka ganti
ruginya dihitung menurut nilai barang yang macam dan sifatnya sama di tempat
dan pada waktu barang itu didatangkan. (KUHPerd. 1246 dst.; KUHD 366, 473, 476,
517c.)
Pasal 473
Dalam hal adanya kerusakan, maka harus diganti
jumlah uang yang diperoleh dengan mengurangi nilai yang dimaksud dalam pasal
472 dengan nilai barang yang rusak, dan selisih ini dikurangi dengan apa yang
dihemat untuk bea, biaya dan biaya angkutan karena adanya kerusakan.(KUHD 476,
483, 517c.)
Pasal 474
Bila pengangkut adalah pengusaha kapal, maka
tanggung jawab atas kerusakan yang diderita barang yang diangkut dengan kapal,
terbatas sampai jumlah f. 50,- setiap meter kubik isi bersih kapalnya,
sepanjang mengenai kapal yang digerakkan secara mekanis, ditambah dengan apa
yang untuk menentukan isinya dikurangkan dari isi kotor untuk ruangan yang
ditempati oleh tenaga penggerak. (KUHD 320 dst., 468, 470, 475 dst., 517c, 525,
541; Rv. 316a-r.)
Pasal 475
Bila pengangkut bukan pengusaha kapal,
kewajiban untuk ganti rugi menurut pasal 468 yang mengenai pengangkutan melalui
laut, terbatas sampai jumlah yang dalam urusan kerusakan yang diderita,
berdasarkan ketentuan pasal yang lalu, dapat ditagih pada pengusaha kapal.
Dalam hal adanya perselisihan, maka pengangkut harus menunjukkan sampai
seberapa batas pertanggungjawabannya. (KUHD 470, 474, 476, 517c, 526; Rv.
316r.)
Pasal 476
Dengan menyimpang dari ketentuan pasal-pasal
472-475, maka dapat dituntut ganti rugi penuh, bila kerusakan itu disebabkan
oleh kesengajaan atau kesalahan besar pengangkut sendiri. Persyaratan
perjanjian yang bertentangan dengan ini adalah batal. (AB. 23; KURD 470, 517c,
524, 527, 541.)
Pasal 477
Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian
yang disebabkan oleh penyerahan barang yang terlambat, kecuali bila ia
membuktikan, bahwa keterlambatan itu adalah akibat suatu kejadian yang
selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya. (KUHPerd. 1244 dst.; KUHD 92,
342 dst., 367 dst., 370, 468, 517c, o, 528, 741-1 nomor 30.)
Pasal 478
Pengangkut mempunyai hak atas ganti rugi yang
diderita karena tidak diserahkan kepadanya sebagaimana mestinya surat-surat
yang menjadi syarat untuk mengangkut barang itu. Ia bertanggung jawab untuk
mematuhi undang-undang dan peraturan pemerintah mengenai barang itu, bila
surat-surat dan pemberitahuan yang diberikan kepadanya memungkinkannya untuk
itu. (KUHD 347, 454, 504, 517c, 528, 741; S. 1927-34 pasal 117 dst.)
Pasal 479
Pengangkut mempunyai hak atas penggantian
kerugian yang dideritanya akibat diberikan kepadanya pemberitahuan yang tidak
betul atau tidak lengkap mengenai waktu dan sifat-sifat barang, kecuali bila ia
telah mengenal atau seharusnya mengenal watak dan sifat-sifat itu. Pengangkut
setiap waktu dapat melepaskan dirinya dari barang-barang yang menimbulkan
bahaya bagi muatan atau kapalnya, juga dengan cara menghancurkannya tanpa
diharuskan mengganti kerugian karena hal itu. Hal ini berlaku jika terhadap
barang-barang yang dianggap sebagai barang selundupan, bila kepada pengangkut
diberikan pemberitahuan yang tidak betul dan tidak lengkap mengenai
barang-barang itu. (KUHPerd. 1246 dst.; KUHD 357, 372, 468, 504, 617c, 741; S.
1927-34 pasal 117 dst.)
Pasal 480
Bila kapal karena keadaan setempat tidak
mencapai atau tidak dapat mencapai tempat tujuannya dalam waktu yang layak,
pengangkut wajib berusaha atas biayanya mengantarkan barang-barang ke tempat
tujuannya dengan tongkang atau dengan jalan lain. Bila diperjanjikan, bahwa
kapal tidak perlu pergi lebih jauh dari tempat yang dapat sampai dan berlabuh
lancar dan aman, maka pengangkut berwenang untuk menyerahkan barang-barang itu
di tempat terdekat pada tempat tujuannya yang memenuhi syarat ini, kecuali bila
halangan itu hanya bersifat sementara, sehingga hal itu hanya akan menyebabkan
kelambatan sedikit. (KUHD 517c, 529, 702;S. 1920-274.)
Pasal 488
Penerima barang mempunyai hak didahulukan
mengenai ganti rugi atas barang-barang angkutannya terhadap para kreditur,
kecuali yang disebut dalam pasal 316, asalkan ia menyuruh menyita biaya
angkutan dalam jangka waktu yang disebut dalam pasal yang lalu. Dengan
penyitaan itu dianggap peraturan dalam pasal yang lalu telah terpenuhi,
(KUHperd. 1132 dst.)
Bila tidak ada surat, penyitaan dapat dilakukan
dengan izin ketua raad van justitie yang daerahnya barang-barang itu diserahkan
pengadilan usaha memeriksa tuntutan pernyataan sahnya dan pencabutan penyitaan,
beserta tuntutan untuk pemberian pernyataan kepada pihak ketiga yang barangnya
disita. Di luar kabupaten yang ada raad van justitienya penyitaan dapat
dilakukan atas izin residentierechter yang mempunyai wilayah penyerahan barang
yang bersangkutan. (KUHD 468 dst., 500; Rv. 728 dst.)
Pasal 489
Penerima barang yang menduga adanya kerusakan
pada barangnya, berwenang untuk menyuruh mengadakan pemeriksaan oleh pengadilan
sebelum atau pada waktu penyerahan,tentang cara memuat barang dalam kapal, dan
tentang sebab kerusakannya. Pengangkatan ahli-ahlinya dilakukan oleh ketua raad
van justitie, bila ada dalam wilayah tempat dilakukannya penyerahan, dan kalau
tidak ada oleh residentierechter, atau jika ia tidak ada oleh kepala
pemerintahan Daerah setempat,bagaimanapun juga setelah mendengar atau memanggil
secukupnya pihak lawan atau wakilnya. Bila pemeriksaan usaha telah diadakan
dengan dihadiri oleh pihak yang lain atau wakilnya atau setelah panggilan
secukupnya, maka berita yang dikeluarkan mengenai itu berlaku sebagai bukti di
hadapan pengadilan mengenai pemuatan barang ke dalam kapal dan sebab dari
kerusakan itu, selama tidak ditunjukkan bahwa hal itu tidak benar adanya.
Pemeriksaan yang dimaksud dalam pasal usaha tidak akan dilakukan, bila
peraturan dinas kapal pelayaran terganggu karenanya. (KUHD 94, 361,491, 493,
533a,)
Pasal 491
Setelah penyerahan barang di tempat tujuannya,
penerima harus membayar biaya angkutannya dan apa yang selanjutnya harus dibayar
sesuai dengan dokumennya yang berdasarkan itu telah menerima penyerahannya.
(KUHD359, 454, 466, 492 dst., 506, 511, 517p, q, 519u.)
Pasal 492
Bila biaya angkutannya ditetapkan menurut
ukuran, berat atau bilangan barang-barang yang harus diangkut, maka hal itu
dihitung menurut ukuran, berat atau bilangan yang ada pada barang-barang itu
pada waktu penyerahan kepada penerima, kecuali bila ternyata, bahwa ukuran,
berat atau bilangannya pada waktu pengambil alihan untuk diangkut lebih
sedikit, yang dalam hal itu dilakukan.
Biaya pengukuran, penimbangan dan penghitungan
pada waktu penyerahan dibebankan kepada pengangkut, kecuali bila dalam
pelabuhan itu ada kebiasaan yang lain. (AB. 3; KUHD 481, 490 dst.)
Penghitungannya menurut ketentuan-ketentuan
usaha.
Pasal 496
Bila barang yang sudah disimpan, bila mudah
menjadi busuk, baik pengangkut maupun penyimpan dapat dikuasakan untuk menjual
seluruhnya atau sebagian dengan cara yang ditentukan oleh pejabat yang dalam
alinea berikut dinyatakan berwenang; pengangkut di samping itu dapat
dikuasakan, agar dari hasilnya ia mengambil apa yang harus dibayar kepadanya.
Pemberian kuasa dilakukan oleh ketua raad van
justitie, yang di daerahnya barang itu disimpan, sedapat-dapatnya setelah
mendengar atau memanggil dengan cukup orang-orang yang ikut berkepentingan atau
wakil mereka. Di luar daerah di mana ada ketua raad van justitie, pemberian
kuasa ini dilakukan oleh residentierechter atau bila ia tidak ada atau
berhalangan, oleh kepala pemerintahan Daerah setempat. Hasil penjualan barang,
sekedar tidak digunakan untuk memenuhi biaya penyimpanan dan tagihan
pengangkut, disimpan pada pengadilan. (KUHPerd. 1694 dst., 1730 dst.; KUHD 94,
361, 491, 495, 497 dst., 510 dst., 516, 533a; Rv. 316o.)
BAB V B
PENGANGKUTAN ORANG
Ketentuan-ketentuan Umum
Pasal 521
Pengangkut dalam pengertian bab usaha adalah
orang yang mengikat diri, baik dengan perjanjian pencarteran menurut waktu atau
menurut perjalanan, maupun dengan suatu perjanjian lain untuk menyelenggarakan
pengangkutanorang (musafir, penumpang) seluruhnya atau sebagian lewat laut.
(KUHD 3411, 371a, 3721, 453, 466, 533, 533d, n, q, v.)
Pasal 522
perjanjian untuk mengangkut, mewajibkan
pengangkut untuk menjaga keamanan penumpang dari saat naik sampai saat turun
dari kapal. Pengangkut wajib mengganti kerugian, yang disebabkan oleh cedera
yang menimpa penumpang berkenaan dengan pengangkutan, kecuali ia dapat
membuktikan, bahwa cedera itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang layaknya
tidak dapat dicegah atau dihindari, atau akibat kesalahan penumpang sendiri.
Bila cedera itu mengakibatkan kematian, maka pengangkut wajib mengganti
kerugian yang karenanya diderita oleh suami atau istri yang ditinggalkan,
anak-anak dan orang tua penumpang itu. Bila penumpang itu diangkut berdasarkan
perjanjian dengan pihak ketiga, pengangkut bertanggung jawab baik terhadap
pihak ketiga maupun terhadap penumpang dan ahli warisnya, semuanya dengan
mengindahkan ketentuan dalam alinea-alinea yang lain. (KUHperd. 1244 dst., 1365
dst., 1370 dst.; KUHD 342dst., 468, 523 dst., 525 dst., 526a, 533c, 568i, 741;
S. 1927-33 pasal 2, 5 dst., 9, 11,20 dst. 30; S. 1927-34 pasal 10 dst., 37
dst., 64 dst., 92 dst., 94 dst.; Stoomord. I dst., 6 dst., 29 dst.; petr.
vervoerord. 6 dst., 15 dst.)
Pasal 523
pengangkut bertanggung jawab atas perbuatan
orang-orang yang dipekerjakan olehnya, dan barang-barang yang digunakannya pada
pengangkutan itu. (KUHperd. 1367; KUHD 359, 468', 524, 533c, 741.)
Pasal 689
Bila barang yang dipertanggungkan harus
diangkut didarat, atau melalui sungai atau perairan pedalaman, atau
berganti-ganti melalui darat dan air, penanggung tidak wajib selama perjalanan
itu, di luar keadaan terpaksa, melakukannya melalui jalan lain daripada yang
biasa, dan dengan cara lain daripada yang biasa pula. (KUHD 638, 641, 652, 691
dst., 695, 754.)
Pasal 690
Bila waktu pengangkutan ditentukan dalam surat
angkutan, dalam tentang hal itu disebut dalam polis, penanggung tidak wajib
membayar kerugian, yang terjadi setelah waktu yang seharusnya barang-barang
selesai diangkut. (KUHD 90, 650, 686-l-, 688, 695.)
Pasal 691
Pada pertanggungan atas barang-barang yang
harus diangkut lewat darat, atau berganti-ganti melalui darat dan air, maka
bahaya untuk beban penanggung tetap ada, meskipun barang-barang itu dalam
perjalanan, dipindahkan ke dalam kendaraan atau kapal lain. (KUHD 638 dst.,
689, 695, 754.)
Pasal 692
Hak yang seperti itu teijadi pada pertanggungan
barang-barang yang harus diangkut lewat sungai atau perairan pedalaman, bila
barang-barang itu dipindahkan ke dalam kapal lain; kecuali bila
pertanggungannya mungkin diadakan mengenai barang-barang yang harus dimuat
dalam kapal tertentu. Bahkan dalam hal terakhir usaha, pada pemindahan
barang-barang ke kapal lain, bahayanya tetap berlangsung atas beban penanggung,
bila hal itu terjadi untuk mengosongkan kapalnya pada waktu air surut, atau
atas dasar alasan lain yang tak dapat dihindari. (KUHD 638 dst., 691, 695,
754.)
Pasal 693
Pada pertanggungan barang-barang yang
dikirimkan lewat darat, penanggung juga bertanggungjawab atas kerusakan dan
kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kecurangan orang yang ditugaskan
untuk penerimaan, pengangkutan dan pengantaraan. (KUHD 86 dst., 91 dst., 637,
687, 695.)
Pasal 695
Para pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan
persyaratan yang menyimpang dari ketentuan tersebut di atas dalam pasal 688 dan
berikutnya, (KUHD 687, 754.)
Undang undang nasional
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
- bahwa
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan
makmur yang merata material dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
- bahwa
pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat
mendukung, tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka
barang dan / atau jasa yang, memiliki kandungan teknologi yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan
kepastian atas barang dan / atau jasa yang diperoleh dari perdagangan
tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
- bahwa
semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globilisasi
ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta
kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang
diperolehnya di pasar;
- bahwa
untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang
bertanggungjawab;
- bahwa
ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum
memadai;
- bahwa
berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan
perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan
konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
- bahwa
untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;
Mengingat:
Pasal 5 Ayat 1, Pasal 21 Ayat 1, Pasal 27, dan
Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
- Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.
- Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
- Pelaku
usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
- Barang
adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dihabiskan, yang
dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh
konsumen.
- Jasa
adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
- Promosi
adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau
jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang
akan dan sedang diperdagangkan.
- Impor
barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
- Impor
jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam
wilayah Republik Indonesia.
- Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah
yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan
menangani perlindungan konsumen.
- Klausula
Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
- Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
- Badan
Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu
upaya pengembangan perlindungan konsumen.
- Menteri
adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
bidang perdagangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat,
keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian
hukum.
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan:
- meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
- mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
- meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen;
- menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
- menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
- meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4
Hak konsumen adalah:
- hak
atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang
dan/atau jasa;
- hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
- hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
- hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang
digunakan;
- hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
- hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
- hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
- hak
untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya;
- hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah:
- membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
- beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
- membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
- mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah:
- hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
- hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
- hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang
diperdagangkan;
- hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
- beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
- memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
- memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
- memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau
jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
- memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
- memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
PERDUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
- Pelaku
usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
- tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
- tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut;
- tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
- tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut,
- tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
- tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang paling baik atas barang tersebut;
- tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label;
- tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di
pasang/dibuat;
- tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
- Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi
secara lengkap dan benar.
- Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Pasal 9
- Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
- barang
tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu,
sejarah atau guna tertentu;
- barang
tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
- barang
dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja
atau aksesori tertentu;
- barang
dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
- barang
dan/atau jasa tersebut tersedia;
- barang
tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
- barang
tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu;
- barang
tersebut berasal dari daerah tertentu;
- secara
langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
- menggunakan
kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, tidak mengandung
risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
- menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
- Barang
dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk
diperdagangkan.
- Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan
mengenai:
- harga
atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
- kegunaan
suatu barang dan/atau jasa;
- kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
- tawaran
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
- bahwa
penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan
melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen
dengan:
- menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu
tertentu;
- menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat
tersembunyi;
- tidak
berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain;
- tidak
menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksud menjual barang yang lain;
- tidak
menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan
maksud menjual jasa yang lain;
- menaikkan
harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan
atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus
dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud
untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan,
atau diiklankan.
Pasal 13
- Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang
dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau
memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
- Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan
kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau
jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa yang, ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara
undian, dilarang untuk:
- tidak
melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
- mengumumkan
hasilnya tidak melalui media masa;
- memberikan
hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
- mengganti
hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan;
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat
menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa melalui pesanan dilarang untuk:
- tidak
menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan
yang dijanjikan;
- tidak
menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
- Pelaku
usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
- mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau
jasa;
- mengelabui
jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
- memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa;
- tidak
memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
- mengeksploitasi
kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan
yang bersangkutan;
- melanggar
etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.
- Pelaku
usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat 1.
BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18
- Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
- menyatakan
pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
- menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
- menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan
atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
- menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung,
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
- mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli oleh konsumen;
- memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
- menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
- menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch
konsumen secara angsuran.
- Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti.
- Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan
ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
- Pelaku
usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
Undang-undang ini.
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19
- Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.
- Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Pemberian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi.
- Pemberian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsur kesalahan.
- Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas
iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
- Importir
barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila
importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen
luar negeri.
- Importir
jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa
asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa
asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur
kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4, Pasal
20, dan Pasal 21 merupakan beban dari tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup
kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak
memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, dapat
digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan
peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24
- Pelaku
usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen
apabila:
- pelaku
usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas
barang dan/atau jasa tersebut;
- pelaku
usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya
perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau
tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
- Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibebaskan dari tanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain
yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan
melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
- Pelaku
usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam
batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku
cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau
garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
- Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat l bertanggung jawab atas tuntutan
ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
- tidak
menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas
perbaikan;
- tidak
memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib
memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan
dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
- barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan unluk
diedarkan;
- cacat
barang timbul pada kemudian hari;
- cacat
timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
- kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen;
- lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur
kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal
22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 29
- Pemerintah
bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
- Pembinaan
oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis
terkait.
- Menteri
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 melakukan koordinasi atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen.
- Pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 2
meliputi upaya untuk:
- terciptanya
iklim usaha dan timbulnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan
konsumen;
- berkembangnya
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
- meningkatnya
kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan
pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
- Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 30
- Pengawasan
terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah,
masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
- Pengawasan
oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat l dilaksanakan oleh Menteri
dan/atau menteri teknis terkait.
- Pengawasan
oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
- Apabila
hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ternyata menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen,
Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
- Hasil
pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan
dapat disampaikan kepada Menteri dan rnenteri teknis.
- Ketentuan
pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat l, ayat 2, dan
ayat 3 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Pasal 31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan
konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional
berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai
fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan
perlindungan konsumen di Indonesia.
Pasal 34
- Untuk
menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional mempunyai tugas:
- memberikan
saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan
di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan
penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan
penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan
konsumen;
- mendorong
berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
- menyebarluaskan
informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
- menerima
pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
- melakukan
survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
- Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen
internasional.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35
- Badan
Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap
anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya
15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang
anggota yang mewakili semua unsur.
- Anggota
Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
- Masa
jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen
Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan berikutnya.
- Ketua
dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional
terdiri atas unsur:
- pemerintah;
- pelaku
usaha;
- Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
- akademisi;
dan
- tenaga
ahli.
Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen
Nasional adalah: a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat; c.
berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan f. berusia
sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen
Nasional berhenti karena:
- meninggal
dunia;
- mengundurkan
diri atas permintaan sendiri;
- bertempat
tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
- sakit
secara terus menerus;
- berakhir
masa jabatan sebagai anggota; atau
- diberhentikan.
Pasal 39
- Untuk
kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibantu
oleh sekretariat.
- Sekretariat
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipimpin oleh seorang sekretaris yang
diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
- Fungsi,
tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur
dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 40
- Apabila
diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan
lbu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
- Pembentukan
perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan lebih lanjut dengan
keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional berkerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan
Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan
belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
LEMBAGA PFRLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
Pasal 44
- Pemerintah
mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat.
- Lernbaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk
berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
- Tugas
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
- menyebarkan
informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan
kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- memberikan
nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
- bekerja
sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen;
- membantu
konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau
pengaduan konsumen;
- melakukan
pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan
perlindungan konsumen.
- Ketentuan
lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB X
MENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
- Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
- Penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
- Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak
menhilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
- Apabila
telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang,
bersengketa.
Pasal 46
- Gugatan
atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
- seorang
konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
- sekelompok
konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
- Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut
adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
- pemerintah
dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau
korban yang tidak sedikit.
- Gugatan
yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf
b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
- Ketentuan
lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang
tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak
akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita
oleh konsumen.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui
pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan
memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
BAB XI
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal 49
- Pemerintah
membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
- Untuk,
dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen,
seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- warga
negara Republik Indonesia;
- berbadan
sehat;
- berkelakuan
baik;
- tidak
pernah dihukum karena kejahatan;
- memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
- berusia
sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
- Anggota
sebagairnana dimaksud pada ayat 2 terdiri atas unsur pemerintah, unsur
konsumen, dan unsur pelaku usaha.
- Anggota
setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berjumlah sedikit-dikitnya 3
(tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
- Pengangkatan
dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 1 terdiri atas:
- ketua
merangkap anggota;
- wakil
ketua merangkap anggota;
- anggota.
Pasal 51
- Badan
penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
sekretariat.
- Sekretariat
badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan
anggota sekretariat.
- Pengangkatan
dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan
penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa
konsumen meliputi:
- melaksanakan
penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi
atau arbitrase atau konsiliasi;
- memberikan
konsultasi perlindungan konsumen;
- melakukan
pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
- melaporkan
kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undang-undang ini;
- menerima
pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
- melakukan
penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
- memanggil
pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
- memanggil
dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
- meminta
bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
- mendapatkan,
meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
- memutuskan
dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
- memberitahukan
putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
- menjatuhkan
sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang-undang ini.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II
diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 54
- Untuk
menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa
konsumen membentuk majelis.
- Jumlah
anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus ganjil dan
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, yang mewakili semua unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat 3, serta dibantu oleh seorang panitera.
- Putusan
majelis bersifat final dan mengikat.
- Ketentuan
teknis lebih lanjut pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan
menteri.
Pasal 55
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib
mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja
setelah gugatan diterima.
Pasal 56
- Dalam
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan
penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku
usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
- Para
pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14
(empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
- Pelaku
usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa
konsumen.
- Apabila
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 3 tidak dijalankan
oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan
putusan tersebut kepada penyidik unluk melakukan penyidikan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- Putusan
badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 3
merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan
penyidikan.
Pasal 57
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 ayat 3 dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di
tempat konsumen yang dirugikan.
Pasal 58
- Pengadilan
Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat 2 dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari
sejak diterimanya keberatan.
- Terhadap
putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 1, para pihak
dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
- Mahkamah
Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 59
- Selain
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.
- Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil ,sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang:
- melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan
pemeriksaan terhadap orang, atau badan hukum yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang perlindungan konsumen;
- meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan
pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan
pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta
melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen;
- meminta
bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen.
- Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1
memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
- Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyampaikan
hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
BAB XIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
- Badan
penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20,
Pasal 25, dan Pasal 26.
- Sanksi
administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
- Tata
cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap
pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
- Pelaku
Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
- Pelaku
usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan
huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
- Terhadap
pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
- perampasan
barang tertentu;
- pengumuman
keputusan hakim;
- pembayaran
ganti rugi;
- perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
- kewajiban
penarikan barang dari peredaran; atau
- pencabutan
izin usaha.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan
yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Undang-undang ini berlaku setelah 1 (satu)
tahun sejak diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar