HIMAKUM

HIMAKUM

Kamis, 25 Februari 2016

Hukum Transportasi


Definisi Transportasi Menurut Para Ahli
Secara Harfiah Transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Di negara maju, mereka biasanya menggunakan kereta bawah tanah (subway) dan taksi. Penduduk di sana jarang yang mempunyai kendaraan pribadi karena mereka sebagian besar menggunakan angkutan umum sebagai transportasi mereka. Transportasi sendiri dibagi 3 yaitu :Transportasi darat, laut, dan udara.Transportasi udara merupakan transportasi yang membutuhkan banyak uang untuk memakainya. Selain karena memiliki teknologi yang lebih canggih, transportasi udara merupakan alat transportasi tercepat dibandingkan dengan alat transportasi lainnya.

Pengertian Transportasi Menurut Para Ahli.

Menurut Salim (2000) transportasi adalah kegiatan pemindahan barang (muatan) dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam transportasi ada dua unsur yang terpenting yaitu pemindahan/pergerakan (movement) dan secara fisik mengubah tempat dari barang (comoditi) dan penumpang ke tempat lain.

Menurut Hasim Purba di dalam bukunya ”Hukum Pengangkutan Di Laut”, pengangkutan adalah ”kegiatan pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat, angkutan perairan maupun angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan. Jadi pengangkutan itu berupa suatu wujud kegiatan dengan maksud memindahkan barang-barang atau penumpang (orang) dari tempat asal ke suatu tempat tujuan tertentu”.

Menurut Soegijatna Tjakranegara, pengangkutan adalah memindahkan barang ataucommodity of goods dan penumpang dari suatu tempat ketempat lain, sehingga pengangkut menghasilkan jasa angkutan atau produksi jasa bagi masyarakat yang membutuhkan untuk pemindahan atau pengiriman barangbarangnya.

Secara yuridis defenisi atau pengertian pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Walaupun demikian, pengangkutan itu menurut hukum atau secara yuridis dapat didefenisikan sebagai suatu perjanjian timbal balik antara pihak pengangkut dengan pihak yang diangkut atau pemilik barang atau pengirim, dengan memungut biaya pengangkutan.

Menurut Miro (2005) transportasi dapat diartikan usaha memindahkan, mengerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu objek dari suatu tempat ke tempat lain, di mana di tempat lain ini objek tersebut lebih bermanfaat atau dapat berguna untuk tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan menurut Nasution (2008) adalah sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.

Menurut Ridwan Khairindy, pengangkutan merupakan pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Ada beberapa unsur pengangkutan, yaitu sebagai berikut:
1.  adanya sesuatu yang diangkut;
2.  tersedianya kendaraan sebagai alat angkut
3.  ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.

Menurut H.M.N Purwosutjipto menyatakan bahwa “Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”.

Pada dasarnya permintaan angkutan diakibatkan oleh hal- hal berikut (Nasution, 2004 dalam Herry 2006);
1.Kebutuhan manusia untuk berpergian dari lokasi lain dengan tujuan mengambil bagian di dalam suatu kegiatan, misalnya bekerja, berbelanja, kesekolah, dan lain- lain.
2.Kebutuhan angkutan barang untuk dapat digunakan atau dikonsumsi di lokasi lain.

Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Berdasarkan suatu perjanjian;
2)      Kegiatan ekonomi di bidang jasa;
3)      Berbentuk perusahaan;
4)      Menggunakan alat angkut mekanik.

Sedangkan fungsi trasportasi menurut Morlok (1984) adalah untuk menggerakan atau memindahkan orang dan / atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan system tertentu untuk tujuan tertentu.
Transportasi manusia atau barang biasanya bukanlah merupakan tujuan akhir, oleh karena itu permintaan akan jasa transportasi dapat disebut sebagai permintaan turunan (derived demand) yang timbul akibat adanya permintaan akan komoditi atau jasa lainnya. Dengan demikian permintaan akan transportasi baru akan ada apabila terdapat factor- factor pendorongnya. Permintaan jasa transportasi tidak berdiri sendiri, melainkan tersembunyi dibalik kepentingan yang lain. (Molok, 1984).


Kesimpulan
Definisi hukum transportasi:

Hukum Transportasi adalah sekumpulan norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemilik jasa angkutan dan pengguna jasa angkutan.

Obyek Hukum Transportasi ada 2:
1. Orang
2. Barang

Sumber Hukum Transportasi:
1. KUHD & BW
2. UU. No. 22 Tahun 2009 tntg Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


PASAL-PASAL DALAM KUHD MENGENAI PENGANGKUTAN DAN TRANSPORTASI

PASAL-PASAL DALAM KUHD MENGENAI PENGANGKUTAN DAN TRANSPORTASI
Pasal 86
Ekspeditur adalah seseorang yang pekerjaannya menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lain di darat atau di perairan. Ia diwajibkan membuat catatan-catatan dalam register harian secara berturut-turut tentang sifat dan jumlah barang-barang atau barang-barang dagangan yang harus diangkut, dan bila diminta, juga tentang nilainya. (KUHPerd. 1139-71, 1147, 1792 dst.; KUHD 6 dst., 76, 90, 95.)
Pasal 87 
Ia harus menjamin pengiriman dengan rapi dan secepatnya atas barang-barang dagangan dan barang-barang yang telah diterimanya untuk itu,dengan mengindahkan segala sarana yang dapat diambilnya untuk menjamin pengiriman yang baik. (KUHPerd. 1244, 1367,1800 dst.; KUHD 88.)
Pasal 88
Ia juga harus menanggung kerusakan atau kehilangan barang-barang dagangan dan barang-barang sesudah pengirimannya yang disebabkan oleh kesalahan atau keteledorannya. (KUHD 91 dst.)
Pasal 90
Surat muatan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dan pengangkut atau juragan kapal, dan meliputi selain apa yang mungkin menjadi persetujuan antara pihak-pihak bersangkutan, seperti misalnya jangka waktu penyelenggaraan pengangkutannya dan penggantian kerugian dalam hal kelambatan, juga meliputi:
1. nama dan berat atau ukuran barang-barang yang harus diangkut beserta merek-mereknya  dan bilangannya;
2. nama yang dikirimi barang-barang itu;
3. nama dan tempat tinggal pengangkut atau juragan kapal;
4. jumlah upah pengangkutan;
5. tanggal penandatanganan;
6. penandatanganan pengirim atau ekspeditur. Surat muatan harus dicatat dalam daftar harian oleh ekspeditur. (KUHD 86, 454 dst., 506.)
Bagian 3
Pengangkut Dan Juragan Kapal Melalui Sungai-sungai Dan Perairan Pedalaman
Pasal 91
Para pengangkut dan juragan kapal harus bertanggung jawab atas semua kerusakan yang terjadi pada barang-barang dagangan atau barang-barang yang telah diterima untuk diangkut, kecuali hal itu disebabkan oleh cacat barang itu sendiri, atau oleh keadaan di luar kekuasaan mereka atau oleh kesalahan atau kelalaian pengirim atau ekspeditur sendiri. (KUHPerd. 1139-71, 1147, 1246, 1367, 1617; KUHD 87 dst., 93, 95, 98, 342 dst., 533, 693.)
Pasal 92
Pengangkut atau juragan kapal tidak bertanggung jawab atas kelambatan pengangkutan, bila hal itu disebabkan oleh keadaan yang memaksa. (KUHPerd.1245; KUHD 87.)
Pasal 93
Setelah pembayaran upah pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang yang telah diangkut atas dasar pesanan diterima, maka gugurlah segala hak untuk menuntut kerugian kepada pengangkut atau juragan kapal dalam hal kerusakan atau kekurangan, bila cacatnya waktu itu dapat dilihat dari luar. Jika kerusakan atau kekurangannya tidak dapat dilihat dari luar, dapat dilakukan pemeriksaan oleh pengadilan setelah barang-barang itu diterima, tanpa membedakan sudah atau belum dibayar upah pengangkutan, asalkan pemeriksaan itu diminta dalam waktu dua kali dua puluh empat jam setelah penerimaan, dan ternyata barang-barang itu masih dalam wujud yang semula. (KUHD 485 dst., 746,753.)
Pasal 95
Semua hak-menuntut terhadap ekspeditur, pengangkut atau juragan kapal berdasarkan kehilangan barang-barang seluruhnya, kelambatan penyerahan, dan kerusakan pada barang-barang dagangan atau barang-barang, kedaluwarsanya pengiriman yang dilakukan dalam wilayah Indonesia, selama satu tahun dan selama dua tahun dalam hal pengiriman dari Indonesia ke tempat-tempat lain, bila dalam hal hilangnya barang-barang, terhitung dari hari waktu seharusnya pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barangnya selesai, dan dalam hal kerusakan dan kelambatan penyampaian, terhitung dari hari waktu barang-barang itu seharusnya akan sampai di tempat tujuan. Kedaluwarsa ini tidak berlaku dalam hal adanya penipuan atau ketidakjujuran. (KUHPerd. 1967; KUHD 86 dst., 91, 93.)
Pasal 394
Penumpang tidak boleh mengangkut barang di kapal atas beban sendiri, kecuali berdasarkan perjanjian dengan pengusaha kapal atau izinnya, dan bila kapal itu dicarter, juga dari pencarter. Bila dilakukan perbuatan yang bertentangan dengan ini, maka untuk barang itu harus dibayar biaya angkutan tertinggi yang dipersyaratkan atau dapat dipersyaratkan untuk barang-barang semacam itu dengan ketentuan tujuan yang sama pada waktu pemuatan, dan harus dibayar ganti rugi yang terjadi di samping itu. Bila barang tersebut berbahaya untuk barang lain atau untuk kapalnya ataupun dianggap sebagai barang larangan, maka nakhoda berwenang menurunkan ke darat atau bila perlu melemparkannya ke laut. (KUHPerd. 1246, 1365; KUHD 320, 341, 357, 400, 413 dst., 453, 466, 479, 491 dst., 518a dan i, 533.)
Pasal 453
Yang diartikan dengan mencarterkan (vervrachten) dan mencarter (bevrachten) ialah pencarteran menurut waktu (carter waktu) dan pencarteran menurut perjalanan (carter perjalanan). Percarteran menurut waktu ialah perjanjian di mana pihak yang satu (yang mencarterkan) mengikatkan diri untuk menyediakan penggunaan sebuah kapal yang ditunjuk bagi pihak lainnya (pencarter), agar digunakan untuk keperluannya guna pelayaran di laut, dengan membayar suatu harga yang dihitung menurut lamanya waktu. (KUHD 460 dst., 517z, 518 dst., 518f, 533n dst.) Pencarteran menurut perjalanan adalah perjanjian dimana pihak yang satu (yang mencarterkan) mengikatkan diri untuk menyediakan penggunaan sebuah kapal yang ditunjuk untuk seluruhnya atau untuk sebagian bagi pihak lainnya (pencarter), agar baginya dapat diangkut orang atau barang melalui laut dengan satu perjalanan atau lebih dengan membayar harga tertentu untuk pengangkutan ini. (KUHD 618h dst., 521, 533q dst.; S. 1933-47.)


BAB VA
PENGANGKUTAN BARANG-BARANG
Ketentuan-ketentuan Umum
Pasal 466
Pengangkut dalam pengertian bab ini ialah orang yang mengikat diri, baik dengan carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan, maupun dengan suatu perjanjian lain, untuk menyelenggarakan pengangkutan barang seluruhnya atau sebagian melalui laut. (KUHD 86, 453, 520g, 521, 533.)
Pasal 467
Pengangkut dalam batas-batas yang layak, bebas dalam memilih alat pengangkutannya, kecuali bila diperjanjikan suatu alat pengangkutan tertentu. (KUHPerd. 1374; KUHD 5179.)
Pasal 468
Perjanjian pengangkutan menjanjikan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat penyerahannya. Pengangkut harus mengganti kerugian karena tidak menyerahkan seluruh atau sebagian barangnya atau karena ada kerusakan, kecuali bila Ia membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang itu seluruhnya atau sebagian atau kerusakannya itu adalah akibat suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya, akibat sifatnya, keadaannya atau suatu cacat barangnya sendiri atau akibat kesalahan pengirim. Ia bertanggung jawab atas tindakan orang yang dipekerjakannya, dan terhadap benda yang digunakannya dalam pengangkutan itu. (KUHPerd. 1239, 1243 dst., 1367, 1613, 1706; KUHD 86 dst., 89, 91, 249, 342, 359, 371, 452, 469 dst., 472 dst., 475,477, 479, 483, 487, 517c, p, x, 518n, 519u, 522 dst., 533, 707, 741-1 nomor 31, 746.)
Pasal 469
Terhadap pencurian dan hilangnya emas, perak, batu mulia dan barang berharga lainnya, uang dan surat-surat berharga, dan juga terhadap kerusakan barang-barang berharga yang mudah menjadi rusak, pengangkut hanya bertanggung jawab bila kepadanya diberitahukan tentang sifat dan nilai barang itu sebelum atau pada waktu ia menerimanya. (KUHD 96, 468, 470, 517c.)
Pasal 470
Pengangkut tidak bebas untuk mempersyaratkan, bahwaia tidak bertanggung jawab atau bertanggung jawab tidak lebih daripada sampai jumlah yang terbatas untuk kerugian yang disebabkan karena kurang cakupnya usaha untuk pemeliharaan, perlengkapan atau pemberian awak untuk alat pengangkutnya, atau untukkecocokannya bagi pengangkutan yang diperjanjikan, maupun karena perlakuan yang keliru atau penjagaan yang kurang cukup terhadap barang itu. Persyaratan yang bermaksud demikian adalah batal. Namun pengangkut berwenang untuk mempersyaratkan, bahwa ia tidak akan bertanggung jawab untuk tidak lebih dari suatu jumlah tertentu atas tiap-tiap barang yang diangkut, kecuali bila kepadanya diberitahukan tentang sifat dan nilai barangnya sebelum atau pada waktu penerimaan. Jumlah ini tidak boleh ditetapkanlebih rendah dari f. 600,-. Pengangkut di samping itu dapat mempersyaratkan, bahwa ia tidak wajib mengganti kerugian, bila kepadanya diberitahukan sifat dan nilai barangnya dengan sengaja secara keliru. (AB. 23; KUHD 359 dst., 362, 469, 470a, 471, 476, 493, 517b, c, 524, 527; S. 1927.-261 pasal 35; S. 1927-262 pasal 27.)
Pasal 470a
Persyaratan untuk membatasi tanggung jawab pengangkut dalam hal apa pun tidak membebaskannya untuk membuktikan, bahwa untuk pemeliharaan, perlengkapan atau pemberian awak untuk alat pengangkutan yang diperjanjikan telah cukup diusahakan, bila ternyata, bahwa kerugian itu adalah akibat dari cacat alat pengangkutannya atau tatanannya. Dari hal ini tidak dapat diadakan penyimpangan dengan perjanjian. (AB. 23; KUHD 359 dst., 459, 471, 517c, 524a.)
Pasal 472
Ganti rugi yang harus dibayar oleh pengangkut karena tidak menyerahkan seluruhnya atau sebagian dari barang-barang, dihitung menurut nilai barang yang macam dan sifatnya sama di tempat tujuan, pada waktu barang itu seharusnya diserahkan, dikurangi dengan apa yang dihemat untuk bea, biaya dan biaya angkutan karena tidak adanya penyerahan. Bila muatan selebihnya dengan ketentuan tujuan yang sama, sebagai akibat suatu sebab untuk hal mana pengangkut tidak bertanggung jawab, tidak mencapai tujuannya, maka ganti ruginya dihitung menurut nilai barang yang macam dan sifatnya sama di tempat dan pada waktu barang itu didatangkan. (KUHPerd. 1246 dst.; KUHD 366, 473, 476, 517c.)

Pasal 473
Dalam hal adanya kerusakan, maka harus diganti jumlah uang yang diperoleh dengan mengurangi nilai yang dimaksud dalam pasal 472 dengan nilai barang yang rusak, dan selisih ini dikurangi dengan apa yang dihemat untuk bea, biaya dan biaya angkutan karena adanya kerusakan.(KUHD 476, 483, 517c.)
Pasal 474
Bila pengangkut adalah pengusaha kapal, maka tanggung jawab atas kerusakan yang diderita barang yang diangkut dengan kapal, terbatas sampai jumlah f. 50,- setiap meter kubik isi bersih kapalnya, sepanjang mengenai kapal yang digerakkan secara mekanis, ditambah dengan apa yang untuk menentukan isinya dikurangkan dari isi kotor untuk ruangan yang ditempati oleh tenaga penggerak. (KUHD 320 dst., 468, 470, 475 dst., 517c, 525, 541; Rv. 316a-r.)
Pasal 475
Bila pengangkut bukan pengusaha kapal, kewajiban untuk ganti rugi menurut pasal 468 yang mengenai pengangkutan melalui laut, terbatas sampai jumlah yang dalam urusan kerusakan yang diderita, berdasarkan ketentuan pasal yang lalu, dapat ditagih pada pengusaha kapal. Dalam hal adanya perselisihan, maka pengangkut harus menunjukkan sampai seberapa batas pertanggungjawabannya. (KUHD 470, 474, 476, 517c, 526; Rv. 316r.)
Pasal 476
Dengan menyimpang dari ketentuan pasal-pasal 472-475, maka dapat dituntut ganti rugi penuh, bila kerusakan itu disebabkan oleh kesengajaan atau kesalahan besar pengangkut sendiri. Persyaratan perjanjian yang bertentangan dengan ini adalah batal. (AB. 23; KURD 470, 517c, 524, 527, 541.)
Pasal 477
Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh penyerahan barang yang terlambat, kecuali bila ia membuktikan, bahwa keterlambatan itu adalah akibat suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya. (KUHPerd. 1244 dst.; KUHD 92, 342 dst., 367 dst., 370, 468, 517c, o, 528, 741-1 nomor 30.)

Pasal 478
Pengangkut mempunyai hak atas ganti rugi yang diderita karena tidak diserahkan kepadanya sebagaimana mestinya surat-surat yang menjadi syarat untuk mengangkut barang itu. Ia bertanggung jawab untuk mematuhi undang-undang dan peraturan pemerintah mengenai barang itu, bila surat-surat dan pemberitahuan yang diberikan kepadanya memungkinkannya untuk itu. (KUHD 347, 454, 504, 517c, 528, 741; S. 1927-34 pasal 117 dst.)
Pasal 479
Pengangkut mempunyai hak atas penggantian kerugian yang dideritanya akibat diberikan kepadanya pemberitahuan yang tidak betul atau tidak lengkap mengenai waktu dan sifat-sifat barang, kecuali bila ia telah mengenal atau seharusnya mengenal watak dan sifat-sifat itu. Pengangkut setiap waktu dapat melepaskan dirinya dari barang-barang yang menimbulkan bahaya bagi muatan atau kapalnya, juga dengan cara menghancurkannya tanpa diharuskan mengganti kerugian karena hal itu. Hal ini berlaku jika terhadap barang-barang yang dianggap sebagai barang selundupan, bila kepada pengangkut diberikan pemberitahuan yang tidak betul dan tidak lengkap mengenai barang-barang itu. (KUHPerd. 1246 dst.; KUHD 357, 372, 468, 504, 617c, 741; S. 1927-34 pasal 117 dst.)
Pasal 480
Bila kapal karena keadaan setempat tidak mencapai atau tidak dapat mencapai tempat tujuannya dalam waktu yang layak, pengangkut wajib berusaha atas biayanya mengantarkan barang-barang ke tempat tujuannya dengan tongkang atau dengan jalan lain. Bila diperjanjikan, bahwa kapal tidak perlu pergi lebih jauh dari tempat yang dapat sampai dan berlabuh lancar dan aman, maka pengangkut berwenang untuk menyerahkan barang-barang itu di tempat terdekat pada tempat tujuannya yang memenuhi syarat ini, kecuali bila halangan itu hanya bersifat sementara, sehingga hal itu hanya akan menyebabkan kelambatan sedikit. (KUHD 517c, 529, 702;S. 1920-274.)
Pasal 488
Penerima barang mempunyai hak didahulukan mengenai ganti rugi atas barang-barang angkutannya terhadap para kreditur, kecuali yang disebut dalam pasal 316, asalkan ia menyuruh menyita biaya angkutan dalam jangka waktu yang disebut dalam pasal yang lalu. Dengan penyitaan itu dianggap peraturan dalam pasal yang lalu telah terpenuhi, (KUHperd. 1132 dst.)
Bila tidak ada surat, penyitaan dapat dilakukan dengan izin ketua raad van justitie yang daerahnya barang-barang itu diserahkan pengadilan usaha memeriksa tuntutan pernyataan sahnya dan pencabutan penyitaan, beserta tuntutan untuk pemberian pernyataan kepada pihak ketiga yang barangnya disita. Di luar kabupaten yang ada raad van justitienya penyitaan dapat dilakukan atas izin residentierechter yang mempunyai wilayah penyerahan barang yang bersangkutan. (KUHD 468 dst., 500; Rv. 728 dst.)
Pasal 489
Penerima barang yang menduga adanya kerusakan pada barangnya, berwenang untuk menyuruh mengadakan pemeriksaan oleh pengadilan sebelum atau pada waktu penyerahan,tentang cara memuat barang dalam kapal, dan tentang sebab kerusakannya. Pengangkatan ahli-ahlinya dilakukan oleh ketua raad van justitie, bila ada dalam wilayah tempat dilakukannya penyerahan, dan kalau tidak ada oleh residentierechter, atau jika ia tidak ada oleh kepala pemerintahan Daerah setempat,bagaimanapun juga setelah mendengar atau memanggil secukupnya pihak lawan atau wakilnya. Bila pemeriksaan usaha telah diadakan dengan dihadiri oleh pihak yang lain atau wakilnya atau setelah panggilan secukupnya, maka berita yang dikeluarkan mengenai itu berlaku sebagai bukti di hadapan pengadilan mengenai pemuatan barang ke dalam kapal dan sebab dari kerusakan itu, selama tidak ditunjukkan bahwa hal itu tidak benar adanya. Pemeriksaan yang dimaksud dalam pasal usaha tidak akan dilakukan, bila peraturan dinas kapal pelayaran terganggu karenanya. (KUHD 94, 361,491, 493, 533a,)
Pasal 491
Setelah penyerahan barang di tempat tujuannya, penerima harus membayar biaya angkutannya dan apa yang selanjutnya harus dibayar sesuai dengan dokumennya yang berdasarkan itu telah menerima penyerahannya. (KUHD359, 454, 466, 492 dst., 506, 511, 517p, q, 519u.)
Pasal 492
Bila biaya angkutannya ditetapkan menurut ukuran, berat atau bilangan barang-barang yang harus diangkut, maka hal itu dihitung menurut ukuran, berat atau bilangan yang ada pada barang-barang itu pada waktu penyerahan kepada penerima, kecuali bila ternyata, bahwa ukuran, berat atau bilangannya pada waktu pengambil alihan untuk diangkut lebih sedikit, yang dalam hal itu dilakukan.
Biaya pengukuran, penimbangan dan penghitungan pada waktu penyerahan dibebankan kepada pengangkut, kecuali bila dalam pelabuhan itu ada kebiasaan yang lain. (AB. 3; KUHD 481, 490 dst.)
Penghitungannya menurut ketentuan-ketentuan usaha.
Pasal 496
Bila barang yang sudah disimpan, bila mudah menjadi busuk, baik pengangkut maupun penyimpan dapat dikuasakan untuk menjual seluruhnya atau sebagian dengan cara yang ditentukan oleh pejabat yang dalam alinea berikut dinyatakan berwenang; pengangkut di samping itu dapat dikuasakan, agar dari hasilnya ia mengambil apa yang harus dibayar kepadanya.
Pemberian kuasa dilakukan oleh ketua raad van justitie, yang di daerahnya barang itu disimpan, sedapat-dapatnya setelah mendengar atau memanggil dengan cukup orang-orang yang ikut berkepentingan atau wakil mereka. Di luar daerah di mana ada ketua raad van justitie, pemberian kuasa ini dilakukan oleh residentierechter atau bila ia tidak ada atau berhalangan, oleh kepala pemerintahan Daerah setempat. Hasil penjualan barang, sekedar tidak digunakan untuk memenuhi biaya penyimpanan dan tagihan pengangkut, disimpan pada pengadilan. (KUHPerd. 1694 dst., 1730 dst.; KUHD 94, 361, 491, 495, 497 dst., 510 dst., 516, 533a; Rv. 316o.)
BAB V B
PENGANGKUTAN ORANG
Ketentuan-ketentuan Umum
Pasal 521
Pengangkut dalam pengertian bab usaha adalah orang yang mengikat diri, baik dengan perjanjian pencarteran menurut waktu atau menurut perjalanan, maupun dengan suatu perjanjian lain untuk menyelenggarakan pengangkutanorang (musafir, penumpang) seluruhnya atau sebagian lewat laut. (KUHD 3411, 371a, 3721, 453, 466, 533, 533d, n, q, v.)
Pasal 522
perjanjian untuk mengangkut, mewajibkan pengangkut untuk menjaga keamanan penumpang dari saat naik sampai saat turun dari kapal. Pengangkut wajib mengganti kerugian, yang disebabkan oleh cedera yang menimpa penumpang berkenaan dengan pengangkutan, kecuali ia dapat membuktikan, bahwa cedera itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang layaknya tidak dapat dicegah atau dihindari, atau akibat kesalahan penumpang sendiri. Bila cedera itu mengakibatkan kematian, maka pengangkut wajib mengganti kerugian yang karenanya diderita oleh suami atau istri yang ditinggalkan, anak-anak dan orang tua penumpang itu. Bila penumpang itu diangkut berdasarkan perjanjian dengan pihak ketiga, pengangkut bertanggung jawab baik terhadap pihak ketiga maupun terhadap penumpang dan ahli warisnya, semuanya dengan mengindahkan ketentuan dalam alinea-alinea yang lain. (KUHperd. 1244 dst., 1365 dst., 1370 dst.; KUHD 342dst., 468, 523 dst., 525 dst., 526a, 533c, 568i, 741; S. 1927-33 pasal 2, 5 dst., 9, 11,20 dst. 30; S. 1927-34 pasal 10 dst., 37 dst., 64 dst., 92 dst., 94 dst.; Stoomord. I dst., 6 dst., 29 dst.; petr. vervoerord. 6 dst., 15 dst.)
Pasal 523
pengangkut bertanggung jawab atas perbuatan orang-orang yang dipekerjakan olehnya, dan barang-barang yang digunakannya pada pengangkutan itu. (KUHperd. 1367; KUHD 359, 468', 524, 533c, 741.)
Pasal 689
Bila barang yang dipertanggungkan harus diangkut didarat, atau melalui sungai atau perairan pedalaman, atau berganti-ganti melalui darat dan air, penanggung tidak wajib selama perjalanan itu, di luar keadaan terpaksa, melakukannya melalui jalan lain daripada yang biasa, dan dengan cara lain daripada yang biasa pula. (KUHD 638, 641, 652, 691 dst., 695, 754.)

Pasal 690
Bila waktu pengangkutan ditentukan dalam surat angkutan, dalam tentang hal itu disebut dalam polis, penanggung tidak wajib membayar kerugian, yang terjadi setelah waktu yang seharusnya barang-barang selesai diangkut. (KUHD 90, 650, 686-l-, 688, 695.)
Pasal 691
Pada pertanggungan atas barang-barang yang harus diangkut lewat darat, atau berganti-ganti melalui darat dan air, maka bahaya untuk beban penanggung tetap ada, meskipun barang-barang itu dalam perjalanan, dipindahkan ke dalam kendaraan atau kapal lain. (KUHD 638 dst., 689, 695, 754.)
Pasal 692
Hak yang seperti itu teijadi pada pertanggungan barang-barang yang harus diangkut lewat sungai atau perairan pedalaman, bila barang-barang itu dipindahkan ke dalam kapal lain; kecuali bila pertanggungannya mungkin diadakan mengenai barang-barang yang harus dimuat dalam kapal tertentu. Bahkan dalam hal terakhir usaha, pada pemindahan barang-barang ke kapal lain, bahayanya tetap berlangsung atas beban penanggung, bila hal itu terjadi untuk mengosongkan kapalnya pada waktu air surut, atau atas dasar alasan lain yang tak dapat dihindari. (KUHD 638 dst., 691, 695, 754.)
Pasal 693
Pada pertanggungan barang-barang yang dikirimkan lewat darat, penanggung juga bertanggungjawab atas kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kecurangan orang yang ditugaskan untuk penerimaan, pengangkutan dan pengantaraan. (KUHD 86 dst., 91 dst., 637, 687, 695.)
Pasal 695
Para pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan persyaratan yang menyimpang dari ketentuan tersebut di atas dalam pasal 688 dan berikutnya, (KUHD 687, 754.)

Undang undang nasional



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
  1. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung, tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan / atau jasa yang, memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan / atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
  3. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globilisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;
  4. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab;
  5. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
  7. bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;
Mengingat:
Pasal 5 Ayat 1, Pasal 21 Ayat 1, Pasal 27, dan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
  2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
  3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
  4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.
  5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
  6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
  7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
  8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
  9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
  10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
  11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
  12. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
  13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan:
  1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
  2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
  3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
  4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
  5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
  6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4
Hak konsumen adalah:
  1. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;
  2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;
  5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  8. hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah:
  1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
  2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
  3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
  4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah:
  1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
  4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan;
  5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
PERDUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
  1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
    1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
    3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
    4. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
    5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
    6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
    7. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
    8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
    9. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
    10. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
  3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.
  4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Pasal 9
  1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
    1. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
    2. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
    3. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
    4. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
    5. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
    6. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
    7. barang tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu;
    8. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
    9. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
    10. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
    11. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
  2. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk diperdagangkan.
  3. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
  1. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
  2. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
  3. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
  4. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
  5. bahwa penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
  1. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
  2. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
  3. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
  4. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
  5. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
  6. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

Pasal 13
  1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
  2. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang, ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
  1. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
  2. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
  3. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
  4. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan;
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
  1. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
  2. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
  1. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
    1. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
    2. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
    3. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
    4. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
    5. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
    6. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
  2. Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat 1.
BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18
  1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
    1. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
    2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
    3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
    4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
    5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
    6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
    7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
    8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran.
  2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
  3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
  4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19
  1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
  4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 21
  1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
  2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dari tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 24
  1. Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
    1. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
    2. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
  2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
  1. Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
  2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat l bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
    1. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
    2. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
  1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan unluk diedarkan;
  2. cacat barang timbul pada kemudian hari;
  3. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
  4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
  5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 29
  1. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
  2. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
  3. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat 2 melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
  4. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 2 meliputi upaya untuk:
    1. terciptanya iklim usaha dan timbulnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
    2. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
    3. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 30
  1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
  2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat l dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
  3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
  4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan rnenteri teknis.
  6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat l, ayat 2, dan ayat 3 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Pasal 31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Pasal 34
  1. Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
    1. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
    2. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
    3. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
    4. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
    5. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
    6. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
    7. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
  2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35
  1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
  2. Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
  3. Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
  4. Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur:
  1. pemerintah;
  2. pelaku usaha;
  3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
  4. akademisi; dan
  5. tenaga ahli.
Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah: a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat; c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
  1. meninggal dunia;
  2. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
  3. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
  4. sakit secara terus menerus;
  5. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
  6. diberhentikan.
Pasal 39
  1. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibantu oleh sekretariat.
  2. Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
  3. Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 40
  1. Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan lbu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
  2. Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
LEMBAGA PFRLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
Pasal 44
  1. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
  2. Lernbaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
  3. Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
    1. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
    2. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
    3. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
    4. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
    5. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
MENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
  1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
  2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
  3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menhilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
  4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang, bersengketa.
Pasal 46
  1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
    1. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
    2. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
    3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
    4. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
  2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
BAB XI
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal 49
  1. Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
  2. Untuk, dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
    1. warga negara Republik Indonesia;
    2. berbadan sehat;
    3. berkelakuan baik;
    4. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
    5. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
    6. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
  3. Anggota sebagairnana dimaksud pada ayat 2 terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
  4. Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
  5. Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 1 terdiri atas:
  1. ketua merangkap anggota;
  2. wakil ketua merangkap anggota;
  3. anggota.
Pasal 51
  1. Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
  2. Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
  3. Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
  1. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
  2. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
  3. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
  4. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
  5. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  6. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
  7. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  8. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
  9. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
  10. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
  11. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
  12. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  13. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 54
  1. Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
  2. Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 3, serta dibantu oleh seorang panitera.
  3. Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
  4. Ketentuan teknis lebih lanjut pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 55
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
Pasal 56
  1. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
  2. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
  3. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
  4. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 3 tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik unluk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 3 merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 57
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat 3 dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Pasal 58
  1. Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat 2 dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
  2. Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 1, para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
  3. Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 59
  1. Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
  2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil ,sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang:
    1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    2. melakukan pemeriksaan terhadap orang, atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    4. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    5. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    6. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
  3. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
  4. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
BAB XIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
  1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
  2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.

Pasal 62
  1. Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Pelaku usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
  3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
  1. perampasan barang tertentu;
  2. pengumuman keputusan hakim;
  3. pembayaran ganti rugi;
  4. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
  5. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
  6. pencabutan izin usaha.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Undang-undang ini berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.






0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net